Nyuguh, sesungguhnya berasal dari kata dasar suguh. Biasanya didahului awalan dan akhiran. Jadinya menyuguhkan, disuguhi, disuguhkan. Artinya adalah menghidangkan, menyediakan, telah dihidangkan, telah disediakan.

Sudah menjadi hal yang lumrah bagi kita jika ada orang yang datang bertamu ke rumah, kita akan menyuguhkan makanan dan minuman. Secangkir teh atau kopi, ditemani makanan ringan, kue kering, gorengan dan sejenisnya, pasti akan terhidang di atas meja. Bahkan kadang kala tamu tersebut kita suguhkan makanan berat.

Hal menarik yang menjadi perhatian saya selama tinggal di Magelang adalah budaya nyuguh dari masyarakatnya, yang mempunyai nilai  lebih menurut pandangan saya. Terutama  masyarakat Tegalrejo, tempat dimana saya tinggal dan bertugas.

Ibu Djuhartinah, atau biasa akrab disapa Bu Dju, pemilik rumah kontrakan kami, setiap hari selalu merebus teh. Bubuk teh yang masih kasar dimasukkan kedalam teko khusus, kemudian diseduh dengan air panas. Air teh tersebut dipakai seharian. Teko plastiknya sampai berwarna hitam karena dipakai terus menerus. Kebiasaan ini juga biasa dilakukan oleh semua orang.

Minum teh sudah menjadi kebisaan yang wajib masyarakat di sana. Makan makanan apapun, pasti ditemani oleh secangkir teh. Pemilik warung makan pasti selalu menyediakan teh. Jika kamu makan nasi, soto, dll di Tegalrejo, kamu pasti selalu ditawari teh. Jarang ditawari air putih, kecuali kalau diminta.

Jenis teh yang disukai oleh masyarakat Tegalrejo adalah serbuk teh / daun teh yang masih kasar, bukan teh celup yang sudah ada kertas saringnya. Bahkan saya pernah mencicipi teh yang terhidang masih dengan ampas-ampasnya. Teh yang dijual disini juga khas, aroma melati.

Saya masih ingat, waktu saya kecil dulu, sebelum teh celup belum sepopuler sekarang, kami memakai teh serbuk Bendera, atau Golpara. Serbuknya diseduh dalam secangkir gelas dengan air panas, teh yang pekat itu dituangkan sedikit -sedikit kedalam cangkir tamu dengan  menggunakan saringan teh, barulah cangkir tamu itu ditambahi lagi airnya, dan ditambahi gula.

Nyuguh yang berkesan buat saya adalah nyuguh itu sudah mendarah daging dan mengakar dalam setiap keluarga. Setiap kali kamu berkunjung ke sebuah rumah, pasti akan disuguhkan teh dan panganan. Yang menjadi khas,  di tiap-tiap rumah, di meja tamunya pasti ada beberapa buah toples yang isinya panganan. Minimal kerupuk.

Walaupun mereka dalam keadaan tidak ada, memuliakan tamu adalah suatu kehormatan. Makanya pantang bagi mereka tidak memberikan pelayanan yang terbaik. Pengalaman yang membuat saya terenyuh ketika sedang mengadakan posyandu lansia di dusun Clapar. Pak Kadus dan istrinya tetap memaksa kami untuk makan siang dengan lauk seadanya, walaupun kami telah menolak. Hanya ada mie instan rebus, sambal Kosek, dan kerupuk. Kalau bagi saya mah, jika memang sedang tidak ada, saya tidak terlalu memaksakan diri. Tapi itulah hebatnya, prinsip berbagi rejeki masyarakat di sana saya acungi jempol. Salut banget. Semoga saya bisa seperti itu.