Memahami diri sendiri itu rumit. Apalagi kita harus dituntut untuk memahami orang lain. Menyenangkan diri sendiri kadang kita tidak punya waktu. Ditengah-tengah menjalankan kehidupan dan rutinitas, terkadang kita harus keluar sejenak, meninggalkan rumah, pergi ketempat-tempat yang baru agar mendapat pengalaman yang baru.

Masih dalam masa penyesuaian dengan lingkungan di Tegalrejo. Kami mendapat rumah kontrakan di dusun karanglo. Sebagai perantau baru, kami harus membeli perlengkapan dapur, kompor gas, tabung gas, ember, serta perlengkapan lainnya.

Akhirnya saya di ajak oleh suami belanja ke Hasbuna. Sebuah mini market dan toserba. Sekali pergi semua kebutuhan tercukupi.

Saat itu saya pergi setelah sholat asar. Dengan motor Suzuki Shogun kebanggaan, kami mengendarai motor pelan-pelan sambil menikmati angin sore yang mengantarkan burung pulang ke sarang.

Di kampung asal saya, mayoritas masyarakat terbiasa keluar sore hari dengan sepeda motor untuk sekedar jalan-jalan dan membeli gorengan. Laju sepeda motornya hanya kecepatan 30-40 km/jam. Sangat kontras dengan keadaan disini. Semua orang berpacu. Semua kendaraan melaju dengan kencang. Keberadaan motor kami yang jalannya kayak siput seolah membuat pengendara yang lain merengut.

Waktu menunjukkan jam 5 sore. Semua perlengkapan pun sudah selesai dibeli. Sudah saatnya untuk pulang ke rumah menyusun belanjaan. Namun bukannya tambah sepi, pasar persimpangan Tegalrejo malah semakin ramai.
Orang besarung. Itu hanya istilah saya, orang yang bodoh ini. Ya, jam 5 sore adalah jam kebebasan bagi warga pesantren. Seluruh anak-anak pesantren yang sedang mondok di API keluar dari “sarangnya”

Mereka sangat khas. Mereka selalu memakai baju “kebangsaan”. Peci hitam, baju kemeja, dan sarung. Kemanapun mereka pergi selalu memakai peci hitam, baju kemeja, dan sarung. Bahkan ketika pergi mandi. Ketika musim kemarau datang, hal yang lumrah kita jumpai anak-anak pesantren dibawa dengan truk besar untuk mandi di Kali Elo, Canguk.

Santri putrinya juga begitu. Selalu memakai sarung. Penampilan mereka juga khas. Jilbab segiempat dibiarkan menjulur sampai ke dada, pakai baju blus, bawahnya pakai sarung.

Sedap dipandang mata, ketika mereka berjalan bergerombolan. Memakai sarung merupakan budaya yang dilestarikan dan harus tetap dipertahankan.